Pada tanggal 20 Januari 1978, pemerintah Orde Baru (Orba) menetapkan pembredelan tujuh surat kabar. Ketujuh surat kabar tersebut adalah Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Penyebab larangan terbit tersebut karena pemberitaan mereka dianggap “menghasut” rakyat oleh pemerintah Orba (Merdeka.com).
Pada tanggal 5 Pebruari 1978, surat kabar yang dibredel di atas, boleh terbit kembali apabila menandatngani surat peryataan tertulis. Isinya adaalah permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan memuat tulisan yang menyinggung penguasa.
Seperti diceritakan dalam buku Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama (St. Sularto, Kompas), Jakob Oetama dan PK Ojong dari Harian Kompas, keduanya sangat bimbang dan bersitegang. Sebagai salah satu harian yang terkena bredel tersebut, mereka berdua mengalami kebimbangan, apakah menerima penawaran pemerintah Orba atau tidak.
Pada akhirnya, mereka berdua dengan berat hati memutuskan untuk menerima penawaran pemerintah. Jakob Oetama mempunyai pandangannya terkait Keputusan ini, “Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih Panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya lewat media massa.”
Pada buku tersebut, bahkan keputusan untuk menandatangani surat pernyataan dan kesetiaan ini diakui sebagai salah satu Titik Balik yang menentukan bagi Jakob Oetama dalam sejarah hidup dan perkembangan Harian Kompas hingga sampai menjadi seperti saat ini.