Sumber foto: https://www.constructionplusasia.com/id/sejarah-perkembangan-arsitektur-kolonial-di-indonesia/
Yogyakarta, DIGIDO - Hubungan arsitektur dan perubayan zaman bisa dilihat pasca rezim Soeharto atau pasca targedi Mei 1998. Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) mendukung dan ikut membentuk pergerakan baru dalam wacana arsitektur Indonesia. Hal ini tercermin salah satunya dalam IAI Award ke-6 pada tahun 1999. IAI turut prihatin dengan tragedi kerusuhan 1998. Sehingga tidaklah mengejutkan kalau kompetisi 1999 tidak memberikan award untuk arsitektur residental. Mungkin setelah kerusuhan 1998, arsitektur perumahan dianggap gagal.
Dampak tragedi Mei 1998, memunculkan konsep pemukiman baru, misal Kota Wisata, para arsitek mendesain pemukiman yang berinteraksi dengan linkungan sekitarnya. Maka muncullah konsep pengganti tembok-tembok pembatas perumahan dengan lingkungannya adalah kolam atau taman wisata/bermain.
Menurut Budi Sukada, ketua IAI pada masa itu, penghargaan IAI Award 1999 menolak desain bangunan yang terlalu artifisial dan mewah. Sebaliknya kriteria pemenang pada penghargaan ini adalah arsitektur yang menaikkan harga diri manusia, bertanggung jawab terhadap lingkungan sosial, sensitip terhadap konteks sosial, tidak dibuat-buat, tidak berpegang pada materi bangunan-bangunan yang mewah; inovatif, kreatif, sederhanan tapi cerdas, beredukasi, dan mempunyai visi.
Singkatnya sejak tahun 1999, mantra baru IAI adalah “arsitektur Indonesia pada millenium selanjutnya adalah arsitektur yang melayani masyarakat”.
(Sumber bacaan: Kusno, Abidin, Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca Soeharto, Ombak, 2009)
Digido News
Info dan kerja sama Email: admin@digido.co.id - WA: 081128285685