Tokoh

HABIBIE & AINUN: Ke Ahli Jiwa, Curhat, atau Menuliskannya

Yogyakarta, Arif Doelz - Ada sebuah cerita menarik. Cerita ini pernah ditanyangkan pada salah satu episode di acara Just Alvin dengan bintang tamu BJ Habibie. Beliau diundang dalam rangka lahirnya karya beliau sendiri, yaitu Buku Ainun Habibie dan sekaligus diangkatnya buku tersebut dalam sebuah film. Sebagai host, salah satu pertanyaan Alvin adalah latar belakang Habibie menulis buku ini. Habibie tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi memulainya dengan bercerita apa yang terjadi padanya beberapa saat setelah sang istri tercinta, Ainun, mendahuluinya dipanggil Yang Maha Kuasa.

Habibie mengakui dia sempat begitu terpukul. Tidak menduga sama sekali, karena selama ini Habibie yakin bahwa dia yang akan lebih dulu menghadap Yang Maha Kuasa, bukan istrinya. Apalagi, sosok Ainun adalah segalanya bagi pahit getir perjalanan hidup Habibie. Untuk menghadapi kondisi seperti itu, ada yang mengusulkan cara melepaskan beban kesedihannya. Pertama, berkonsultasi dengan ahli jiwa, kedua melakukan semacam ‘curhat’ kepada orang lain, dan yang terakhir dengan cara menuliskan kisah hidupnya dengan Ainun.

Ternyata Habibie memilih cara yang terakhir. Dan mulailah Habibie dengan penuh penjiwaan menuliskan kisah hidup dan cintanya bersama Ainun. Begitu selesai menuliskannya dan menjadi sebuah buku, ternyata beban kesedihan yang menghimpit jiwanya bisa hilang. Habibie pun mampu mengatasi kesedihan, menerima dengan ikhlas kepergian sang istri, dan bersemangat kembali hidupnya.

Sungguh tak terduga bagi Habibie, jika ternyata ‘menulis’ mempunyai kekuatan dahsyat sebagai ‘obat’ dari beban jiwa.

Bagi orang lain bagaimana? Setiap yang membacanya, pasti pencerahanlah yang didapatkannya. Seperti saat membuka jendela di pagi hari, mengganti dinginya gelap dengan pancaran hangat sinar mentari.

Sedangkan bagi kisah Ainun Habibie sendiri, setelah ditulis dalam sebuah buku, apa manfaatnya? Kisah itu akan menjadi kisah abadi. Setiap kali buku tersebut dibaca, akan menjadi penyambung peradaban demi keterlanjutan masa lalu dan masa kini menuju masa depan. Setiap pembaca dapat mengambil pelajaran atas sebuah ‘kepastian’ masa lalu, demi bekal menuju masa depan yang penuh ‘ketidakpastian’. Bukankah hidup ini menuju masa depan? Sehingga lebih mudah menujunya karena masa depan adalah sebuah keterlanjutan dari masa kini.

Tak mampunya dunia pendidikan melahirkan budaya membaca dan menulis, seperti kuburan yang dingin, sebuah masa depan tanpa ‘rasa’.

 

Salam Literasi.

 

Digido News

Info dan kerja sama Email: admin@digido.co.id - WA: 081128285685