Sumber foto: https://www.freepik.com/
Berpikir positip, membawa kita fokus pada solusi
Bukan mencari kambing hitam dan apriori
Yogyakarta, Muhammad Ali - Pada kolom atau rubrik ini, saya akan berbagi pemikiran dan pengalaman saya. Aktivitas selama ini membuat saya sering melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan, baik perpustakaan propinsi, daerah, dan perpusakaam kampus atau sekolah. Selama melakukan kunjungan ke berbagai perpustakaan tadi, otomatis saya juga berkesempatan berdiskusi dengan banyak pustakawan. Banyak hal yang kami sempat diskusikan.
Tapi kali ini, saya akan berbagi satu pemikiran dulu dari hasil diskusi dengan para pustakawan. Yaitu tentang tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan. Hal ini menarik, seperti diketahui, rasio kunjungan perpustakaan menjadi salah satu komponen nilai IPLM atau Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat. IPLM adalah pengukuran terhadap usaha yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (tingkat provinsi dan kabupaten/kota) dalam membina dan mengembangkan perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat untuk mencapai budaya literasi masyarakat.
Satu kesimpulan yang sering dikeluhkan pustakawan adalah rendahnya tingkat kunjungan dan sulitnya usaha untuk meningkatkannya. Tentu saja yang paling sering menjadi kambing hitam adalah rendahnya minat baca masyarakat. Secara linear memang ada benarnya analisa tersebut.
Bagaimana dengan perpustakaan yang Anda kelola? Apakah juga mengalami hal yang sama?
Saya mencoba sudut pandang lain untuk mengurai masalah ini. Menurut hemat saya, rendahnya kunjungan ke perpustakaan bukan karena rendahnya minat baca masyarakat, tetapi karena effort atau usaha untuk bisa membaca buku cukup panjang alias tidak mudah. Apalagi perkembangan teknologi telah membawa manusia terbiasa dengan budaya cepat dan efisien dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Terutama dalam ranah penyebaran informasi. Sebagai contoh, kita bisa lihat alur orang yang ingin membaca buku di perpustakaan. Selama ini, seseorang harus secara fisik pergi dulu ke perpustakaan. Belum lagi jika perpustakaannya jauh, tentunya perlu waktu dan tenaga yang cukup banyak. Sungguh ironis memang, di satu sisi membaca buku masih sebuah aktivitas yang kurang menarik, ditambah effort untuk membaca buku tidak mudah. Dunia literasi ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Saya teringat buku Andai Buku Sepotong Pizza, tulisan Hernowo. Dia berpendapat bahwa buku harus dihadirkan di tempat yang mudah dijangkau, semudah anak-anak menjangkau makanan. Menurut hemat saya, pendapat itu tidak mustahil diaplikasikan saat ini. Tiada lain, karena buku digital mampu menjadi solusinya.
Kelebihan koleksi buku digital yang tidak dimiliki buku cetak adalah pada kemudahan akses, yaitu cepat, kapan saja, dan di mana saja. Effort-nya kecil bagi pembaca. Jadi, apabila sebuah perpustakaan mempunyai koleksi buku digital yang mudah diakses oleh pemustaka, memiliki potensi meningkatkan kunjungan ke perpustakaan. Apalagi didukung perubahan budaya masyarakat yang semakin digital.
Bisa saja, penyebab rendahnya kunjungan ke perpustakaan ternyata bukan karena rendahnya minat baca masyarakat, tetapi karena ‘tidak mudahnya’ mengakses koleksi literatur di perpustakaan. Mari kita berpikir positip agar fokus pada solusi bukan pada mencari kambing hitam dan apriori.
Lalu seperti apa platform perpustakaan digital yang paling cocok untuk tujuan tersebut? Saya akan membahasnya di Kolom ini pada tulisan selanjutnya.
Salam literasi.
Digido News
Info dan kerja sama Email: admin@digido.co.id - WA: 081128285685
(Penulis adalah Muhammad Ali, Direktur DIGIDO – Platform Perpustakaan Digital berbasis web).