Yogyakarta - Ada cerita menarik tentang seorang kaisar dan musisinya. Diceritakan, Kaisar Akbar dari Kekaisaran Mughal (1542-1605) mempunyai musisi istana kebanggaan, namanya Tansen. Dia seorang musisi besar di zamannya. Pokoknya dia ahli musik luar biasa sehingga dibanggakan banyak orang. Tansen ini ketika menyanyi, di cerita ini memakai bahasa India, dengan intonasi megamala tentang awan mendung, orang yang mendengarkannya merasa seperti benar-benar ada awan mendung. Ketika menyanyi tentang varuna, tentang hujan, pendengar merasakan dingin seperti hujan. Menyanyi tentang nagaswara, tentang ular, pendengar merasa seakan-akan banyak ular di sekelilingnya. Itu karena begitu pinternya Tansen. Semua orang kagum kepada Tansen. Dibanggakan semua orang.
Tetapi suatu ketika, kaisar mendengar musik dari seorang ahli musik lain yang tidak terlalu terkenal, tapi musisi ini seorang sufi, namanya Haridasa. Dia ini juga seorang pengembara. Walau musiknya biasa-biasa saja, tapi setiap yang mendengar musiknya, termasuk kaisar, sangat terpesona dan sangat tersentuh. Kaisar bertanya kepada Tansen, si musikus kebanggaannya itu, mengapa musiknya Haridasa itu kok lebih menarik dan lebih menyentuh dari semua lagu yang pernah kamu nyanyikan di istana? Padahal nadanya biasa, isinya juga biasa saja.
Tansen menjawab dengan sebuah jawaban yang jujur:
“Paduka, hamba bernyanyi, memandang Paduka untuk melihat tanda-tanda penghargaan dari Paduka. Harapan hamba, akan memperoleh beberapa permata atau beberapa hektar sawah.
Sedangkan Haridasa menatap Tuhan, tanpa keserakahan akan kekayaan materi atau ambisi untuk barang duniawi.
Itulah perbedaannya!”
Haridasa tidak menatap siapapun ketika bernyanyi, dia hanya menatap Tuhan. Tanpa serakah akan materi atau ambisi duniawi. Ketika orang hanya menatap wajahnya Tuhan, maka apapun yang dia lakukan akan bisa menyentuh kedalaman spiritual setiap orang karena esensinya Tuhan ada di dalam diri masing-masing.
(Fahruddin Faiz -Ngaji Filsafat, Alegori Cinta Ilahiah Yusuf-Zulaikha, Omah Ilmu, 2019)